Cerita Rakyat Mbay, Nagekeo, Flores, NTT

Image result for gambar rumah adat mbay nagekeoAlamku Nagekeo.




"ANA KODHA GORU DAN WEGU ANA RALO"

Setelah melihat banyak orang datang Ana Kodha Goru (Ana Kodha=Nahkoda) terpikat hatinya dengan seorang gadis yang bernama “Tawa” keturunan “Togo dan Mogo”. Percintaan antara Ana Kodha Goru dengan Tawa dapat terjalin jika Ana Kodha Goru mau tinggal di Ola Dhawe. Setelah terdapat kata sepakat maka Ana Kodha Goru terus tinggal menetap di Ola Dhawe dan diserahi tugas sebagai pemimpin perang untuk menjaga keamanan di laut dan darat (Mosa Sike, Laki Bani).

Dari perkawinan dengan Tawa, Ana Kodha Goru dikaruniai banyak anak, diantaranya seorang yang bernama “Wegu”. Sedangkan kakaknya bernama Tadi, karena sudah berkeluarga tinggal terpisah dengan Wegu.

Karena Wegu tak mempunyai orang tua dan sanak saudara, maka oleh orang Dhawe, Wegu dipanggil “Wegu Ana Ralo” yang berarti Wegu anak yatim piatu. Wegu Ana Ralo hidup sebatang kara, hidupnya merana dan melarat penuh dengan penderitaan hidup, mukanya jelek dan bopeng, tubuhnya penuh dengan borok luka.


Wegu Ana Ralo

    Setelah meninggalnya Ana Kodha Goru dan Tawa, hidup Wegu sangat sengsara. Pekerjaannya sehari-hari dengan mengusahakan ladang dan mengiris moke (tuak). Jika ada pesta, semua penduduk Ola Dhawe dan kaum bangsawan (=mosalaki) mendapat bagian yang terbaik, sedangkan Wegu Ana Ralo diberi kerak nasi dan tulang daging. Kesemuanya itu diterimanya dengan tabah serta sisa-sisa tulang daging dan kerak nasi ditampungnya dalam bambu sebagai kenang-kenangan dari pemberian mosalaki.

Penu Ga’e
 Pada suatu ketika tersebarlah berita bahwa ada seorang gadis Soa yang berasal dari Kampung Wuli Lade telah terjun ke dalam sungai dan menjelma menjadi ikan, pada tempat yang sejak saat itu sampai sekarang disebut “KOLU PENU”. Penu Ga’e begitu nekat membuang diri dan terjun ke dalam sungai karena merasa malu dituduh berzinah dengan salah seorang saudaranya. Barang siapa menemukannya, akan hidup bahagia. Mendengar berita ini ramai-ramailah penduduk Ola Dhawe pergi memasang lukah (=dalam bahasa daerah disebut “Sosa”) di tempat yang bernama “RABA NOKA”, yaitu tempat antara Kampung Rata dan Malawaka. Wegu Ana Ralo pun tak ketinggalan ikut memasang lukah di “Raba Noka”. Tetapi nasibnya sangat malang, setiap kali memasang lukahnya para bangsawan (=mosalaki) selalu membuang lukahnya serta menyuruh Wegu Ana Ralo memasang lukahnya di darat agar bisa mendapat biji kacang atau biji jagung. Demikianlah kata-kata para mosalaki (kaum bangsawan) yang sangat menyakiti hati Wegu Ana Ralo.

Di luar perhitungan Wegu Ana Ralo, di waktu pagi hari, sedang bulan purnama raya malamnya pasang naik sehingga daratan tempat Wegu Ana Ralo memasang lukah (Sosa) di Raba Noka dapat digenangi air. (Hubungkan dengan perang air laut dan air Sesa dalam cerita dongeng rakyat). Dan dalam lukahnya terdapat seekor ikan sebesar betis (=dalam bahasa Dhawe disebut ikan “Ngare”). Segera ia kembali ke rumahnya (Rumah Rajo Goa) agar tidak diketahui oleh para bangsawan (mosalaki). Sesampainya di rumah, ikan itu ditaruhnya di lumbung yang terletak di belakang rumah Rajo Goa. Lalu Wegu Ana Ralo pergi mengiris moke serta mencari daun asam muda untuk rempah-rempah.

Namun setelah ia kembali ke rumahnya didapatinya tempat menyimpan ikan tadi telah kosong. Sedangkan daun pembungkusnya, ia temukan di bawah kolong lumbung di belakang rumahnya. Ia lalu berpikir ikan tersebut pasti telah kembali diambil oleh mosalaki dalam kampung tersebut.

Wegu duduk sendirian sambil menangis terisak-isak, tiba-tiba terdengarlah suara dari dalam lumbung. Rasa ingin tahunya mendorong dia untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Melalui celah dinding lumbung diintipnya dan tampaklah seorang gadis cantik berambut panjang duduk di dalam lumbung. Melihat itu Wegu Ana Ralo menjadi takut bercampur gembira. Wegu pura-pura mencari terus ikannya yang hilang tadi. Lalu gadis dari dalam lumbung tadi bertanya dan bercakap-cakap dengan Wegu Ana Ralo:

Penu Ga’e   :  Engkau mencari apa?

Wegu           : Sedang mencari sesuatu yang hilang.

Penu Ga’e   :  Kemari dekat padaku. Aku akan memberitahukan siapa yang mengambil barangmu.

Wegu           :  Maaf, aku tak berani mendekatimu, sebab aku tahu engkau anak dari mosalaki.

Penu Ga’e   :  Jika engkau tak mau masuk kesini, maka sampai matipun tak akan menemukan barangmu yang hilang.

Wegu           : (Mendengar itu Wegu pun masuk ke dalam lumbung mendekati gadis cantik itu).

Penu Ga’e   :  Engkau tidak perlu mencari barangmu yang hilang. Aku inilah Bu’e Jawa yang engkau cari itu (Nama Penu Ga’e yang asli setelah sampai di Ola Dhawe berubah menjadi Bu’e Jawa yang berarti Gadis Jawa).

Wegu           :  Jika benar-benar engkau Bu’e Jawa, maka aku akan menjadi sedih dan susah. Sebab jika diketahui orang-orang mosalaki, pasti aku akan dipukul atau dibunuh oleh mereka.

Bu’e Jawa   :  Engkau tak perlu takut, nanti kita akan mencari tempat untuk bersembunyi dan berlindung.

Wegu           :  Jika betul engkau Bu’e Jawa, maka engkau tak mungkin tinggal bersama aku, karena aku tak punya apa-apa untuk makan.

Bu’e Jawa   :  Tak usah kuatir, makanan kita berkelimpahan. (Lalu diambilnya tempat sirih dengan sebuah periuk penuh berisi daging dan sebuah periuk lagi penuh berisi nasi, lalu makanlah keduanya bersama-sama).

Wegu           :  (Sambil makan Wegu menangis dan berkata), Aku ini seorang anak yatim-piatu, bagaimana engkau bisa memberi aku makan nasi dan daging? Seandainya orang-orang mosalaki tahu bahwa engkau Bu’e Jawa ada disini, pasti aku akan dibunuh oleh mereka.

Bu’e Jawa   :  (Sambil mengintip melalui celah dinding, ia mengajak Wegu untuk mengantarkannya ke bukit sana, sambil menunjuk ke arah bukit “NABE”).

Wegu           :  Bukit itu bernama NABE. (Lalu berangkatlah mereka kesana. Setiba disana Wegu lalu membuat sebuah pondok kecil untuk Bu’e Jawa dan tinggal beberapa hari lamanya, sehingga ia tidak kelihatan lagi di Kampung Ola Dhawe).

Komentar